Rekontruksi Peradana Pasca-Covid19

Back To Basics : Rekonstruksi Peradaban Pasca-Covid19


Daniel Mohammad Rosyid -YPTDI

Lepas dari apakah Covid19 ini virus alami atau senjata biologis, dunia saat ini dipaksa untuk back to basics dengan implikasi luas, dalam dan lama. The world will never be the same anymore. Jika Bill Gates mengatakan bahwa Covid19 adalah the great Corrector bagi kehidupan manusia sok modern yang sesat, saya menamakannya the Great Equalizer yang membuka peluang bagi ummat Islam untuk bangkit dari keterpurukan.

Dunia kini memasuki tahap awal resesi atau bahkan depresi global. Sementara itu democracy is dying in the dark bahkan di negara kampiun demokrasi AS. Kita sedang memasuki a post-American world. Pax Americana akan segera berakhir. Para pengikut setia kapitalisme dan demokrasi, termasuk rezim saat ini, perlu menimbang ulang paradigma dan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengalami deformasi makin parah justru setelah reformasi. Ummat Islam perlu mengambil jarak yang tegas, menyusun agenda ummat sendiri dengan penuh percaya diri. Ini bukan untuk kepentingan ekalsklusif ummat Islam, tapi untuk seluruh ummat manusia.

What are the basics ? Ummat Islam harus fokus pada kebutuhan-kebutuhan (needs) kita,  bukan keinginan (wants) yang dipropagandakan oleh kaum sekuler garis keras. Kebutuhan manusia sesungguhnya tidak banyak, sedangkan keinginannya hampir tak mengenal batas. Kapitalisme adalah jalan bebas hambatan bagi keserakahan manusia. Kegagalan membedakan keduanya adalah akar bencana kemanusiaan.  Keserakahan adalah keinginan yang tak terkendalikan. Ini tidak saja merusak alam semesta dengan daya dukung yang terbatas, tapi juga lahan subur bagi budaya hidup lebih besar pasak daripada tiang, sekaligus budaya hutang sebagai akar korupsi.

Pertama, yang kita butuhkan adalah kesempatan belajar, bukan bersekolah. Sekolah mengubah kebutuhan belajar menjadi keinginan untuk mencapai tujuan-tujuan lain selain belajar. Tujuan belajar terpenting adalah membangun jiwa merdeka. Di samping sebagai instrumen teknokratik penyiapan buruh trampil, sekolah adalah kepanjangan ego orangtua dan tempat terbaik untuk menyombongkan diri bagi kelas sosial tertentu.

Kedua, yang kita butuhkan adalah kemerdekaan (freedom), bukan keberlimpahan material yang addictive. Semua upaya pembangunan sesungguhnya adalah upaya memperluas kemerdekaan. Keinginan menimbulkan ketergantungan yang kemudian akan mengurangi kemerdekaan. Ketrampilan memilah antara kebutuhan dan keinginan serta menolak keinginan sekaligus memilih kebutuhan adalah kemerdekaan.

Salah satu aspek terpenting kemerdekaan adalah mobilitas. Kita membutuhkan mobilitas, bukan mobil. Saat mobil jadi simbol kelas sosial, orang berlomba memiliki mobil. Makin besar mesinnya, makin tinggi kelas sosialnya. Kebanyakan mobil terbukti justru mengurangi mobilitas. Kemacetan di kota-kota adalah bukti bahwa mobil justru mengurangi mobilitas.  Makin banyak mobil di sebuah kota makin menunjukkan pengurangan kemerdekaan.

Ketiga, yang kita butuhkan adalah keluarga, bukan sekolah atau pabrik. Keluarga adalah satuan edukatif dan produktif yang paling efisien, bukan satuan konsumtif seperti dalam model ekonomi makro kapitalisme. Keluarga yang kuat akan menghasilkan masyarakat yang terdidik dan produktif secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keluarga yang kuat.  Sekolah menjadikan belajar sebagai komoditi langka, dan hanya menghasilkan buruh trampil untuk dipekerjakan di pabrik-pabrik.

Keempat, yang dibutuhkan ummat adalah  masjid, bukan organisasi massa, apalagi  partai politik. Kebutuhan warga yang tidak dapat dipenuhi keluarga, dapat dipenuhi oleh masjid sebagai institusi sebuah komunitas yang diorganisir secara mandiri (independently, self organized learning and economic environment)

Organisasi massa berpotensi dan telah memfragmentasi ummat. Partai politik memperparah fragmentasi ummat ini. Banyak partai politik terbukti hanya menjadi alat elite partai untuk jual beli jabatan di semua cabang demokrasi. Persekongkolan partai-partai politik telah memonopoli politik sebagai kebajikan publik. Akibatnya semakin banyak partai politik, kebajikan publik seperti keadilan justru makin langka.

Kelima, kita membutuhkan ekonomi agromaritim berbasis keluarga berskala kecil, lokal dan rendah energi. Ini akan menjadi basis kemandirian pangan. Masjid bisa menjadi sebuah komunitas ekonomi yang mandiri. Kita butuh lebih banyak enterpreneur, bukan buruh yang menjadi jongos bagi industri besar yang tidak efisien. Ummat Islam harus menguatkan kapasitas trade and commerce nya dengan menguasai pelayaran sebagai instrumen perdagangan antar-pulau dan antar-negara. Penjajahan atas Nusantara dilakukan melalui proses deagromaritimisasi sekaligus deislamisasi.

Keenam, kita membutuhkan alat tukar yang stabil, bukan kertas yang bisa diperjualbelikan, yang memiliki nilai intrinsik untuk mamfasilitasi barter. Kita tidak membutuhkan bank, tapi Baitul Mal (wat Tamwil) yang mencetak alat tukar, memfasilitasi hutang, penyimpanan alat tukar dan gadai. Uang kertas yang bisa diperjualbelikan adalah riba terbesar yang merampok kekayaan masyarakat.

Ketujuh, kita membutuhkan air bersih, bukan jalan tol. Air bersih adalah kebutuhan dasar kehidupan modern yang sehat. Menjamin ketersediaan air bersih yang cukup mensyaratkan neraca air yang surplus. Ini mengandaikan konservasi ekosistem hutan di hulu dan kawasan tangkapan hujan. Kita juga butuh makanan hasil produksi lokal yang segar menyehatkan dalam jumlah yang cukup dan aman dikonsumsi, bukan makanan impor berpengawet hasil rekayasa genetika.

Jalan tol memperparah ketimpangan konsumsi energi perkapita saat kita terperosok makin dalam ke perangkap moda tunggal jalan pribadi yang tidak efisien, polutif dan tidak berkelanjutan. Kawasan-kawasan terbelakang adalah kawasan-kawasan yang ditinggalkan oleh para perencana pembangunan yang didikte oleh lobby industri otomotif. Angkutan umum terbengkalai di kawasan-kawasan urban menghambat perang melawan kemiskinan di perkotaan.

Kedelapan, kita membutuhkan syariah, bukan hukum yang direkayasa untuk diabdikan bagi kepentingan elite parpol dan modal. Kita membutuhkan konstitusi yang memerdekakan, memperluas kemerdekaan, bukan yang membuka persekongkolan elite politik dan pemodal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi warga negara.

Kesembilan, kita membutuhkan khilafah, sebuah pemerintahan global yang melampaui nation-states yang makin inward-looking dan tribalistik. Pandemi global Covid-19 membutuhkan respons global yang terkoordinasi. Kepemimpinan global saat ini gagal menyediakan respons yang efektif tersebut. Hanya khilafah Islam yang mampu menegakkan syariah yang membuahkan keadilan bagi semua ummat manusia.




Komentar

Postingan Populer